Hukum – Hukum Perjanjian
1. Hukum Perjanjian Konsesualisme
Asas Konsensualisme atau Konsensualitas muncul karena diilhami oleh hukum
Romawi dan hukum Jerman. Dalam hukum Jerman tidak dikenal namanya Asas
Konsensualisme, yang dikenal yaitu perjanjian riil dan perjanjian formal.
Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara
nyata (kontan dalam hukum Adat) sedangkan perjanjian formal adalah suatu
perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta
otentik maupun akta di bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus
verbis literis dan contractus innominat yang dapat diartikan bahwa
terjadinya perjanjian apabila telah memenuhi bentuk yang telah ditetapkan.
Asas Konsesualisme berlaku dalam hukum perjanjian, konsensualisme berasal
dari kata consensus yang berarti sepakat. Dengan adanya Asas
Konsensualisme ini tidak berarti bahwa dalam suatu perjanjian harus
mensyaratkan adanya kesepakatan, melainkan kesepakatan tersebut sudah
semestinya ada karena perjanjian atau persetujuan dapat diartikan bahwa para pihak
sudah setuju atau sepakat mengenai sesuatu hal.
… pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah
dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain,
perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan
tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.
Dapat dikatakan bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya merupakan
perjanjian konsensuil, dengan pengecualian terkait dengan sahnya suatu perjanjian,
dimana perjanjian itu diharuskan dibuat secara tertulis (misalnya perjanjian
perdamaian) atau dengan akta notaris (misalnya penghibahan barang tetap).
Asas Konsensualisme adalah ketentuan umum yang melahirkan perjanjian
konsensuil. Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Asas Konsensualisme
memperlihatkan bahwa:
… pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua atau
lebih orang telah mengikat, dan arenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah
satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang
tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun kesepakatan
tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.
Maksud
dari kalimat di atas yaitu pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku
sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas,
walau demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitur (atau yang berkewajiban
untuk memenuhi prestasi) diadakanlah bentuk-bentuk formalitas, atau
dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu.
Ketentuan
mengenai Asas Konsensualisme ini dapat kita lihat dalam Pasal 1320 KUH Pdt,
yang berbunyi :
Untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.
Suatu hal tertentu;
4.
Suatu sebab yang halal.
2. Hukum Perjanjian Berkontra
Menurut Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan
berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Sumber dari kebebasan
berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik
tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak .
Berlakunya asas
konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas
kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat
perjanjian, Tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang
tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan
paksa adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya
sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan
kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud,
atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang
diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it) .
Syarat-syarat didalam asas kebebasan berkontrak :
Para pihak
dapat mengatur apapun dalam kontrak tersebut (catch all) sebatas yang
tidak dilarang oleh undang-undang, Yurisprudensi atau kepatutan. Jadi yang
dimaksud asas kebebasan berkontrak ialah suatu asas dimana para pihak bebas membuat
kontrak dan mengatur isi kontrak tersebut sepanjang memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
1.
Memenuhi syarat sebagai kontrak
Agar suatu
kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak maka kontrak
tersebut haruslah memenuhi standar yang telah ditentukan.
2.
Tidak dilarang oleh Undang-undang
Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perUndang-undangan yang berlaku.
3.
Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku
Pasal 1339
KUHPerdata menentukan pula bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat terhadap
isi dari kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan hal-hal yang merupakan
kebiasaan
4. Sepanjang kontrak
tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.
3. hukum perjanjian
sunt servanda
Asas pacta sunt servanda merupakan asas yang
menunjukkan kepastian hukum. Dengan adanya asas ini maka kesekapakatan yang
terjadi di antara para pihak mengikat selayaknya undang-undang bagi para pihak
yang membuatnya. Pihak ketiga juga harus menghormati substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak dan tidak boleh melakukan intervensi terhadap isi
kontrak yang dibuat tersebut. Asas ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1338
ayat (1) KHPerdata
Pacta sunt Servanda
pertama kali diperkenalkan oleh Grotius yang kemudian mencari dasar pada sebuah
hukum perikatan dengan mengambil pronsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat.
Bahwa seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi
janji tersebut (promissorum implendorum obligati).
Menurut Grotius, asas
pacta sunt servanda ini timbul dari premis bahwa kontrak secara alamiah dan
sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan yaitu :
-
Sifat
kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan berinteraksi dengan orang
lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada gilirannya
memberikan kejujuran dan kesetiaan
-
Bahwa setiap
individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang bisa
dialihkan. Apabila seseorang individu memilik hak untuk melepaskan hak
miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang
penting khususnya melalui kontrak.
Sumber
: