Minggu, 26 April 2015

hukum perjanjian



Hukum – Hukum Perjanjian

1. Hukum Perjanjian Konsesualisme
Asas Konsensualisme atau Konsensualitas muncul karena diilhami oleh hukum Romawi dan hukum Jerman. Dalam hukum Jerman tidak dikenal namanya Asas Konsensualisme, yang dikenal yaitu perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum Adat) sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta di bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat yang dapat diartikan bahwa terjadinya perjanjian apabila telah memenuhi bentuk yang telah ditetapkan.
Asas Konsesualisme berlaku dalam hukum perjanjian, konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Dengan adanya Asas Konsensualisme ini tidak berarti bahwa dalam suatu perjanjian harus mensyaratkan adanya kesepakatan, melainkan kesepakatan tersebut sudah semestinya ada karena perjanjian atau persetujuan dapat diartikan bahwa para pihak sudah setuju atau sepakat mengenai sesuatu hal.
Menurut Subekti, arti dari Asas Konsensualisme (Konsensualitas) adalah
… pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.
Dapat dikatakan bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya merupakan perjanjian konsensuil, dengan pengecualian terkait dengan sahnya suatu perjanjian, dimana perjanjian itu diharuskan dibuat secara tertulis (misalnya perjanjian perdamaian) atau dengan akta notaris (misalnya penghibahan barang tetap).
Asas Konsensualisme adalah ketentuan umum yang melahirkan perjanjian konsensuil. Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Asas Konsensualisme memperlihatkan bahwa:
… pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang telah mengikat, dan arenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.
Maksud dari kalimat di atas yaitu pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walau demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitur (atau yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi) diadakanlah bentuk-bentuk formalitas, atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu.
Ketentuan mengenai Asas Konsensualisme ini dapat kita lihat dalam Pasal 1320 KUH Pdt, yang berbunyi :
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.             Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.             Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.             Suatu hal tertentu;
4.             Suatu sebab yang halal.
2. Hukum Perjanjian Berkontra
Menurut Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 ayat  (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik  tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak .
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, Tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it) .
Syarat-syarat didalam asas kebebasan berkontrak :
Para pihak dapat mengatur apapun dalam kontrak tersebut (catch all) sebatas yang tidak dilarang oleh undang-undang, Yurisprudensi atau kepatutan. Jadi yang dimaksud asas kebebasan berkontrak ialah suatu asas dimana para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur isi kontrak tersebut sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1.      Memenuhi syarat sebagai kontrak
Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak maka kontrak tersebut haruslah memenuhi standar yang telah ditentukan.
2.      Tidak dilarang oleh Undang-undang
Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.
3.      Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku
Pasal 1339 KUHPerdata menentukan pula bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat terhadap isi dari kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan
4.      Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.

3. hukum perjanjian sunt servanda
Asas pacta sunt servanda merupakan asas yang menunjukkan kepastian hukum. Dengan adanya asas ini maka kesekapakatan yang terjadi di antara para pihak mengikat selayaknya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Pihak ketiga juga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak dan tidak boleh melakukan intervensi terhadap isi kontrak yang dibuat tersebut. Asas ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KHPerdata
Pacta sunt Servanda pertama kali diperkenalkan oleh Grotius yang kemudian mencari dasar pada sebuah hukum perikatan dengan mengambil pronsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat. Bahwa seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi janji tersebut (promissorum implendorum obligati).

Menurut Grotius, asas pacta sunt servanda ini timbul dari premis bahwa kontrak secara alamiah dan sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan yaitu :
-           Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan   
-           Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu memilik hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak.
Sumber :