Minggu, 28 Juni 2015

BUMN



BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN)
          Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruhnya atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional, di samping badan usaha swasta dan koperasi. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, BUMN, swasta dan koperasi melaksanakan peran saling mendukung berdasarkan demokrasi ekonomi.

Fungsi BUMN: 
  • Penyedia barang ekonomis dan jasa yg tidak dapat disediakan swasta.
  • Pengelola cabang-cabang produksi sumber daya kekayaan alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan efektif dan efisien
  • Alat pemerintah untuk menata kebijakan perekonomian 
  • Penyedia layanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat 
Kebaikan/Kelebihan BUMN (Badan Usaha Milik Negara)
  • Berusaha pada sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak 
  • Memantau keberadaan usaha lainnya supaya dapat berusaha lebih baik
  • Menyediakan barang dan jasa publik untuk kesejahteraan masyarakat. 
  • Memiliki kekuatan hukum yang kuat
  • Salah satu sumber pendapatan negara 
  • Organisasi disusun dengan mantap
2. Kelemahan/Kekurangan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) 
  • Karena sebagian BUMN bertujuan memberi layanan pada masyarakat, seolah-olah BUMN tidak perlu efisien dalam pengelolaannya
  • Lambat dalam mengambil keputusan karena pemilik (pemegang saham) atau pemodal adalah pemerintah sehingga untuk memutuskan sesuatu harus melalui birokrasi yang berbelit-belit
  • Maju mundurnya BUMN bergantung dari niat baik para penentu kebijakan pada BUMN

STRUKTUR REVENUE ATAU PENDAPATAN BUMN
1.BUMN sebagai development agent boleh boros atas nama pembangunan, sehingga manajemen memanfaatkan posisinya untuk keuntungan pribadi.
     2.BUMN memiliki strategic position atau natural monopoli,  sehingga revenue bersumber dari captive market yang jarang dimiliki oleh perusahaan lainnya.

PERUSAHAAN MILIK BUMN
Industri pengolahan
Informasi dan telekomunikasi
Jasa keuangan dan asuransi
Jasa profesional, ilmiah dan teknis
Konstruksi
Pengadaan air, pengelolaan sampah, dan daur ulang
Pengadaan gas, uap dan udara dingin
Perdagangan besar dan eceran
Pertambangan dan penggalian


SUMBER :



Kamis, 28 Mei 2015

Hak Intelektual Pada Brand



Sampai mana sebuah brand memiliki hak intelektual

Setiap bisnis tentunya tidak pernah lepas dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) seperti merek dan patent. Di era digital dan global ini, melindungi sebuah merek dagang serta patent sangat penting. Sejarah sudah membuktikan bahwa banyak sekali bisnis yang tumbuh besar dan meraup keuntungan yang sangat besar karena mereka mampu memanfaatkan kekuatan merek dan invention mereka.
Selain melalui paten, perusahaan juga dapat meraih keuntungan dengan memanfaatkan merek. Merek tidak hanya menjadi simbol pembeda antar produk, tetapi sudah menjadi sebuah definisi harga sebuah produk. Merek dapat menjadikan sebuah produk menjadi memiliki nilai yang berlipat ganda. Lihat saja produk-produk mainan anak-anak sampai perangkat rumah tangga yang bertemakan Hello kitty dapat berharga lebih mahal daripada produk tanpa gambar.
Kekuatan dari setiap merek tentu saja tidak lahir begitu saja melainkan melalui sebuah proses panjang mulai dari kualitas produk itu sendiri sampai branding dan marketing yang akhirnya membentuk dan memposisikan merek tersebut di benak masyarakat. Pada titik ini lah akhirnya kita baru sadar bahwa sangat penting untuk melindungi merek tersebut. Dengan melindungi merek kita melalui Hak Kekayaan Intelektual (HKI), maka kita dapat memanfaatkan semua kekuatan merek untuk bisnis kita.
Undang – undang yang melindungi hak intelektual

Berdasarkan pasal 1 UU No. 15 Tahun 2001 tentang merek, merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

·       Jenis-Jenis Merek

Jenis-jenis merek dapat dibagi menjadi merek dagang, merek jasa, dan merek kolektif.
a)    Merek Dagang
Merek dagang merupakan merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenisnya.
b)    Merek Jasa
Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
c)    Merek Kolektif
Merek kolektif merupakan merek yang digunakan pada barang/jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau hal sejenis lainnya.
d)    Merek yang Tidak Dapat Didaftar
Apabila merek didasarkan atas permohonan dengan iktikad tidak baik maka merek tidak dapat didaftar apabila mengandung salah satu unsur:
o   Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum
o   Tidak memiliki daya pembeda
o   Telah terjadi milik umum.
Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
Pengaturan hukum terhadap hak kekayaan intelektual di Indonesia dapat ditemukan dalam :
  1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;
  2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten;
  3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek;
  4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman;
  5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
  6. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri;
  7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Pelanggaran yang di dapat jika melanggar hak intelektual

Berdasarkan ketentuan undang- undang ini, maka pihak yang melanggar dapat digugat secara keperdataan ke pengadilan niaga. Hal ini sebagaimana dibunyikan pada ketentuan Pasal 56 ayat (1), (2), dan (3) sebagai berikut:
-          Pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Ciptaannya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil Perbanyakan Ciptaan itu.
-          Pemegang Hak Cipta juga berhak memohon kepada Pengadilan Niaga agar memerintahkan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan yang diperoleh dari penyelenggaraan ceramah, pertemuan ilmiah, pertunjukan atau pameran karya, yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.
-          Sebelum menjatuhkan putusan akhir dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, hakim dapat memerintahkan pelanggar untuk menghentikan kegiatan Pengumuman dan/atau Perbanyakan Ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran Hak Cipta.
Sementara itu dari sisi pidana pihak yang melakukan pelanggaran hak cipta dapat dikenai sanksi pidana berupa pidana penjara dan/atau pidana denda. Maksimal pidana penjara selama 7 tahun dan minimal 2 tahun, sedangkan pidana dendanya maksimal Rp. 5 miliar rupiah dan minimal Rp. 150 juta rupiah

 Sumber :

Minggu, 26 April 2015

hukum perjanjian



Hukum – Hukum Perjanjian

1. Hukum Perjanjian Konsesualisme
Asas Konsensualisme atau Konsensualitas muncul karena diilhami oleh hukum Romawi dan hukum Jerman. Dalam hukum Jerman tidak dikenal namanya Asas Konsensualisme, yang dikenal yaitu perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum Adat) sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta di bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat yang dapat diartikan bahwa terjadinya perjanjian apabila telah memenuhi bentuk yang telah ditetapkan.
Asas Konsesualisme berlaku dalam hukum perjanjian, konsensualisme berasal dari kata consensus yang berarti sepakat. Dengan adanya Asas Konsensualisme ini tidak berarti bahwa dalam suatu perjanjian harus mensyaratkan adanya kesepakatan, melainkan kesepakatan tersebut sudah semestinya ada karena perjanjian atau persetujuan dapat diartikan bahwa para pihak sudah setuju atau sepakat mengenai sesuatu hal.
Menurut Subekti, arti dari Asas Konsensualisme (Konsensualitas) adalah
… pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah diperlukan sesuatu formalitas.
Dapat dikatakan bahwa perjanjian-perjanjian itu pada umumnya merupakan perjanjian konsensuil, dengan pengecualian terkait dengan sahnya suatu perjanjian, dimana perjanjian itu diharuskan dibuat secara tertulis (misalnya perjanjian perdamaian) atau dengan akta notaris (misalnya penghibahan barang tetap).
Asas Konsensualisme adalah ketentuan umum yang melahirkan perjanjian konsensuil. Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Asas Konsensualisme memperlihatkan bahwa:
… pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua atau lebih orang telah mengikat, dan arenanya telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.
Maksud dari kalimat di atas yaitu pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas, walau demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitur (atau yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi) diadakanlah bentuk-bentuk formalitas, atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu.
Ketentuan mengenai Asas Konsensualisme ini dapat kita lihat dalam Pasal 1320 KUH Pdt, yang berbunyi :
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1.             Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.             Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.             Suatu hal tertentu;
4.             Suatu sebab yang halal.
2. Hukum Perjanjian Berkontra
Menurut Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 ayat  (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik  tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak .
Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, Tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it) .
Syarat-syarat didalam asas kebebasan berkontrak :
Para pihak dapat mengatur apapun dalam kontrak tersebut (catch all) sebatas yang tidak dilarang oleh undang-undang, Yurisprudensi atau kepatutan. Jadi yang dimaksud asas kebebasan berkontrak ialah suatu asas dimana para pihak bebas membuat kontrak dan mengatur isi kontrak tersebut sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1.      Memenuhi syarat sebagai kontrak
Agar suatu kontrak oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak maka kontrak tersebut haruslah memenuhi standar yang telah ditentukan.
2.      Tidak dilarang oleh Undang-undang
Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.
3.      Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku
Pasal 1339 KUHPerdata menentukan pula bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat terhadap isi dari kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan
4.      Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.

3. hukum perjanjian sunt servanda
Asas pacta sunt servanda merupakan asas yang menunjukkan kepastian hukum. Dengan adanya asas ini maka kesekapakatan yang terjadi di antara para pihak mengikat selayaknya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Pihak ketiga juga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak dan tidak boleh melakukan intervensi terhadap isi kontrak yang dibuat tersebut. Asas ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KHPerdata
Pacta sunt Servanda pertama kali diperkenalkan oleh Grotius yang kemudian mencari dasar pada sebuah hukum perikatan dengan mengambil pronsip-prinsip hukum alam, khususnya kodrat. Bahwa seseorang yang mengikatkan diri pada sebuah janji mutlak untuk memenuhi janji tersebut (promissorum implendorum obligati).

Menurut Grotius, asas pacta sunt servanda ini timbul dari premis bahwa kontrak secara alamiah dan sudah menjadi sifatnya mengikat berdasarkan dua alasan yaitu :
-           Sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus berkejasama dan berinteraksi dengan orang lain, yang berarti orang ini harus saling mempercayai yang pada gilirannya memberikan kejujuran dan kesetiaan   
-           Bahwa setiap individu memiliki hak, dimana yang paling mendasar adalah hak milik yang bisa dialihkan. Apabila seseorang individu memilik hak untuk melepaskan hak miliknya, maka tidak ada alasan untuk mencegah dia melepaskan haknya yang kurang penting khususnya melalui kontrak.
Sumber :